Nyawa pelajar melayang sia-sia,
lagi dan lagi. Persis mengalami pengulangan yang sama. Aksi anarkis ala pelajar
menambah catatan kelam di dunia pendidikan. Banyak jurus telah coba dilakukan,
sebanyak itu pula aksi tawuran masih tetap eksis berlangsung. Entah karena
jurusnya kurang jitu atau semua ini dianggap angin lalu. Pastinya, kita kembali
dipaksa menghitung angka korban yang terus bertambah akibat tawuran
pelajar.
Sekolah seakan kehilangan wibawa. Pelajar adu
jotos di jam efektif belajar, kita mau bilang apa. Kebetulan, di luar kendali,
tak sengaja, atau kata apa yang bisa gambarkan lemahnya sistem kontrol sekolah.
Sekolah, antara ada dan tiada.
Tony Buzan, penemu metode pemetaan pikiran (mind
mapping), pernah menyatakan satu hal menarik, “Dalam bentuk pendidikan yang
baru, penekanan pendidikan harus dibalik. Jika tadinya berbagai fakta di luar
diri seseorang yang lebih dahulu diajarkan, kini kita harus terlebih dahulu mengajarkan
berbagai fakta tentang dirinya—fakta tentang cara manusia belajar, berpikir,
mengingat, mencipta, dan menyelesaikan masalah”. Jika puspa ragam ilmu
diajarkan di sekolah, mengapa masih ada saja pelajar yang tega menghabisi
pelajar lainnya?
Belajar matematika dan belajar tentang matematika,
coba cermati maknanya, beda atau sama? Belajar akhlak pasti hasilnya lebih
berdampak bagi pelajar ketimbang belajar tentang akhlak. Kesadaran berperilaku
baik dalam keseharian, hasil dari belajar akhlak. Belajar matematika berarti
pelajar akan menginternalisasi makna kejujuran, konsistensi, cara berpikir
sistematis, buah dari hasil belajar bermatematika. Belajar tentang matematika,
ya pelajar paling hanya tahu bilangan, aljabar, trigonometri, dan seabrek teori
matematika lainnya.
"Belajar tentang", bicara soal teori
saja. Pelajar hanya sekadar tahu tapi tak paham ilmu. Ilmu yang dimilikinya tak
bermakna. Cirinya, ilmu itu tak bermanfaat bagi si pemilik ilmu. Bahkan,
membuat si pemilik ilmu tak mengenali dirinya. Inilah tanda sekolah tak mampu
ajarkan nilai-nilai kehidupan. Di satu sisi menimba ilmu tentang teori
menyelesaikan konflik, misalnya, di sisi lain perilaku destruktif tetap jadi
gaya hidup keseharian. Dengan kata lain, teori pelajaran tak bersifat kontekstual
dengan kehidupan nyata. Semakin banyak teorinya, semakin pusing kepala para
pelajar kita. “Ah teori saja, cape deh”, mungkin itu yang tergurat di benak
para pelajar kita.
Menjaga kewibawaan
sekolah
Roald Dahl, penulis cerpen dan buku anak asal Inggris,
lewat buku autobiografinya, "Boy: Tales of Childhood" (1984),
menggambarkan kehidupan sekolahnya semasa tinggal di Wales dan Inggris. Dia
pernah menulis, “Aku terkejut dengan kenyataan bahwa para pengawas asrama
sekolah dan murid-murid senior sungguh-sungguh diizinkan untuk melukai
murid-murid lain, dan terkadang dengan sangat parah. Aku tak bisa melupakannya.
Tak pernah bisa melupakannya”. Sungguh terlalu.
Bicara soal tawuran pelajar, sekolah menjadi pihak
yang paling tergugat. Kata maaf dari pihak sekolah dirasa tak cukup jika
mencermati kasus tawuran yang terus berulang. Apalagi untuk mengembalikan nyawa
murid yang melayang. Sudah pasti impossible. Kasus yang berulang, tanda kita
tak pernah belajar dari pengalaman masa lampau. Dalam hal ini, keseriusan
sekolah layak dipertanyakan. Kita tentu tak berharap apa yang dialami Roald
Dahl terjadi pada sebagian pelajar kita.
Ada beberapa alternatif solusi yang bisa
diupayakan untuk pecahkan kasus tawuran pelajar. Dari mulai sanksi tegas bagi
sekolah yang pelajarnya sering tawuran, opsi melakukan drop out pada siswa yang
terlibat tawuran, sampai menutup sekolah yang pelajarnya sering tawuran. Mana
yang lebih efektif dilakukan? Kita masih belum tahu jawabannya. Karena semua
masih didiskusikan. Lantas menguap tak ada hasil kajiannya. Ketika tawuran
terjadi lagi, kita baru tergagap bersiap berdiskusi lagi. Sayangnya, kajian
yang dulu dilakukan tak digunakan sebagai rekomendasi untuk menyelesaikan
persoalan tawuran pelajar.
Kewibawaan sekolah menjadi faktor penting yang
bisa menjadi solusi untuk mengurangi bahkan menihilkan kasus tawuran pelajar.
Langkah strategis yang mesti dilakukan agar kewibawaan sekolah tetap terjaga.
Pertama, sekolah mesti punya program kreatif yang bisa
menumbuhkembangkan rasa persahabatan dan solidaritas di antara siswa. Ragam
kegiatan ekstrakurikuler (olahraga, seni, bela diri, dsb) bisa menjadi opsi
terbaik untuk diupayakan. Kegiatan ekstrakurikuler sangat penting untuk
mengasah domain afektif dan psikomotorik pelajar. Hal ini penting agar pelajar
menjadi sosok manusia yang terberdayakan semua potensinya secara utuh. Tak
melulu dijejali teori pelajaran saja.
Kedua, guru mesti dikuatkan fungsinya sebagai pendidik, bukan
sekadar sebagai penjual ilmu pengetahuan saja. Sebuah studi empiris menunjukkan
fakta bahwa kualitas hubungan guru dan siswa semenjak masuk SMP dan jenjang
sekolah yang lebih tinggi semakin berkurang (Freeman, Anderman, & Jensen,
2007).
Guru tak pernah tahu persoalan apa yang mendera
siswa. Kalau pun tahu, mungkin hanya sekadar tahu saja. Tak ada upaya untuk
mengambil peran sebagai sahabat yang mau mendengarkan masalah mereka.
Selanjutnya, mengupayakan pemecahan masalah tanpa menimbulkan masalah
baru.
Ketiga, forum komunikasi kepala sekolah atau guru yang
melibatkan beberapa sekolah di suatu wilayah mesti mengagendakan pembahasan
khusus terkait soal ini. Forum ini menjadi ajang saling tukar informasi dan
menetapkan langkah strategis agar kasus tawuran pelajar bisa diredam.
Jangan sampai pelajar lebih solid menggelar forum,
lebih kreatif mendisain program untuk melestarikan budaya tawuran. Jangan
sampai senior di sekolah lebih berwibawa ketimbang guru. Kalau terjadi, ini
namanya murid "mengencingi" guru.
Keempat, orang tua dan guru mesti mengintrospeksi diri apakah
sudah bisa menjadi teladan buat putra-putri mereka. Jika mereka mampu
memberikan teladan di rumah dan sekolah, logikanya lebih mudah bagi orang tua
dan guru untuk mendidik anak-anak mereka.
Yang penulis khawatirkan, tawuran pelajar
terinspirasi oleh lakon kekerasan di gedung dewan yang terhormat, tawuran antar
kampung, adu jotos politisi demi sesuap nasi, perilaku culas orang dewasa yang
meracuni cara berpikir dan bersikap para pelajar. Kalau sudah begini, lebih
mudah bagi kita menjawab pertanyaan kapan tawuran pelajar akan berakhir. Saat
itu akan datang ketika orang dewasa mulai mau belajar memperbaiki diri dan
menjadi teladan bagi anak-anak mereka. Ayo segera berubah, lebih cepat lebih
baik. Tunggu apa lagi?
Asep
Sapa'at
Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
***
sumber: republika.co.id
0 comments:
Posting Komentar