Namaku Sodikin, asal dari Wringinsongo, Tumpang. Aku alumni SMA Negeri 1 Tumpang, tepatnya lulusan tahun 1995, kelas IPS-3. Jujur saja, disekolah aku bukan termasuk orang yang di perhitungkan – apalagi terkenal – karena memang tidak ada satu prestasipun yang aku torehkan di sekolah ini. Nilai harian standar, olahraga tidak pernah serius, apalagi kegiatan sekolah lain sama sekali tidak bisa aku ikutin.
Aku masuk kelas IPS-3 dengan asuhan Pak Agus Sarsilo. Kelas ini adalah kelas pilihan terakhir saat penjurusan (istilahnya sisa-sisa IPS-1 dan IPS-2). Meski demikian, saat itu Pak Agus bertekat boleh kita di kelas terakhir, tapi kita akan buktikan bahwa nilai terbagus untuk lulusan akan datang dari kelas ini. Alhamdulillah, tekad itu betul terbukti, dan kalau aku tidak salah, Luluk berhasil menjadi lulusan dengan nilai terbaik disusul Happy dan Sugianto.
Mungkin temen-temen ada yang menduga aku ini malas sekali kalau begitu. Itu sah-sah saja. tetapi untuk temen-temen yang tau latar belakangku, pasti maklum dengan hal ini, apalagi aku berasal dari latar belakang kehidupan yang cukup keras saat itu. Setiap pulang sekolah aku harus cepet-cepet pulang untuk bekerta membantu kakak, sebagai pengrajin kayu yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga kami saat itu. Dari sinilah aku bisa membiayai sekolah. Memang tidak ada gaji setiap bulan yang aku terima, tapi yang penting SPP sekolah bisa terbayar saja sudah lebih dari cukup bagiku.
Ada satu pengalaman (saat sekolah di SMAN 1 Tumpang) yang tidak akan pernah bisa aku lupakan sampai kapanpun, Yaitu, suatu kali aku ditegur oleh Pak Prianggono karena baju Pramuka yang aku pakai sudah tidak berwarna coklat lagi, tapi sudah agak kekuning-kuningan (bulak). Maklum, inilah baju satu-satunya yang aku punya, yang aku dapatkan pada saat pertama kali masuk SMA.
Bukan karena aku sombong tidak mau beli baju (mestinya sombong yang bisa beli ya..., ini udah ndak punya, sombong lagi.., hehehe...), tapi karena memang tidak ada yang buat beli. Jujur saja, setiap hari kakakku hanya bisa memberi uang saku sebesar 200 rupiah sehingga kalau saya mau beli bakso saja harus menunggu dua hari dulu (dulu harga bakso sekitar 500/mangkok).
Masih jelas tergiang di telingaku waktu itu, Pak Pri bilang, "Mbok yo ganti rek klambine, wis gak pantes ngono sik di gawe, mbok ojo ngisin-ngisinin sekolahane." Menjawab ucapan Pak Pri itu, aku cuma nyengir aja karena memang tidak ada uang buat beli. Akhirnya beliau nawarin baju ex temen-temen yang sudah lulus, "Yo wis engkok nang kantor, pilihen dewe sing sedeng karo awakmu." Alhamdulillah, dari pemberian inilah akhirnya aku punya baju ganti, karena waktu itu aku mengambil dua stel, satu putih dan satu pramuka.
Temen-temen SMANETA (dan yang baca tulisan ini) semua, tulisan ini bukan bermaksud membuka masa laluku kembali, yang mungkin bagi temen-temen bukan sesuatu yang bagus dan patut di ceritakan. Tapi, aku berharap buat temen-temen yang sudah berhasil, dapat sedikit memikirkan temen-temen di sekolah tercinta kita, barang kali saja ada Sodikin-Sodikin baru di disana yang butuh perhatian kita.
Sudah 13 tahun aku tidak pernah mengunjungi SMAN 1 Tumpang. Begitu besar kerinduan yang terpendam untuk melihat sekolahku dan bertemu temen-temen lama. Mudah-mudahan suatu saat bisa terwujud untuk bisa mengikuti reuni yang di adakan temen-temen semua, walaupun aku yakin pasti canggung bertemu temen-temen dengan segala perubahan yang ada.
Sodikin
Alumni ‘95
Aku masuk kelas IPS-3 dengan asuhan Pak Agus Sarsilo. Kelas ini adalah kelas pilihan terakhir saat penjurusan (istilahnya sisa-sisa IPS-1 dan IPS-2). Meski demikian, saat itu Pak Agus bertekat boleh kita di kelas terakhir, tapi kita akan buktikan bahwa nilai terbagus untuk lulusan akan datang dari kelas ini. Alhamdulillah, tekad itu betul terbukti, dan kalau aku tidak salah, Luluk berhasil menjadi lulusan dengan nilai terbaik disusul Happy dan Sugianto.
Mungkin temen-temen ada yang menduga aku ini malas sekali kalau begitu. Itu sah-sah saja. tetapi untuk temen-temen yang tau latar belakangku, pasti maklum dengan hal ini, apalagi aku berasal dari latar belakang kehidupan yang cukup keras saat itu. Setiap pulang sekolah aku harus cepet-cepet pulang untuk bekerta membantu kakak, sebagai pengrajin kayu yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga kami saat itu. Dari sinilah aku bisa membiayai sekolah. Memang tidak ada gaji setiap bulan yang aku terima, tapi yang penting SPP sekolah bisa terbayar saja sudah lebih dari cukup bagiku.
Ada satu pengalaman (saat sekolah di SMAN 1 Tumpang) yang tidak akan pernah bisa aku lupakan sampai kapanpun, Yaitu, suatu kali aku ditegur oleh Pak Prianggono karena baju Pramuka yang aku pakai sudah tidak berwarna coklat lagi, tapi sudah agak kekuning-kuningan (bulak). Maklum, inilah baju satu-satunya yang aku punya, yang aku dapatkan pada saat pertama kali masuk SMA.
Bukan karena aku sombong tidak mau beli baju (mestinya sombong yang bisa beli ya..., ini udah ndak punya, sombong lagi.., hehehe...), tapi karena memang tidak ada yang buat beli. Jujur saja, setiap hari kakakku hanya bisa memberi uang saku sebesar 200 rupiah sehingga kalau saya mau beli bakso saja harus menunggu dua hari dulu (dulu harga bakso sekitar 500/mangkok).
Masih jelas tergiang di telingaku waktu itu, Pak Pri bilang, "Mbok yo ganti rek klambine, wis gak pantes ngono sik di gawe, mbok ojo ngisin-ngisinin sekolahane." Menjawab ucapan Pak Pri itu, aku cuma nyengir aja karena memang tidak ada uang buat beli. Akhirnya beliau nawarin baju ex temen-temen yang sudah lulus, "Yo wis engkok nang kantor, pilihen dewe sing sedeng karo awakmu." Alhamdulillah, dari pemberian inilah akhirnya aku punya baju ganti, karena waktu itu aku mengambil dua stel, satu putih dan satu pramuka.
Temen-temen SMANETA (dan yang baca tulisan ini) semua, tulisan ini bukan bermaksud membuka masa laluku kembali, yang mungkin bagi temen-temen bukan sesuatu yang bagus dan patut di ceritakan. Tapi, aku berharap buat temen-temen yang sudah berhasil, dapat sedikit memikirkan temen-temen di sekolah tercinta kita, barang kali saja ada Sodikin-Sodikin baru di disana yang butuh perhatian kita.
Sudah 13 tahun aku tidak pernah mengunjungi SMAN 1 Tumpang. Begitu besar kerinduan yang terpendam untuk melihat sekolahku dan bertemu temen-temen lama. Mudah-mudahan suatu saat bisa terwujud untuk bisa mengikuti reuni yang di adakan temen-temen semua, walaupun aku yakin pasti canggung bertemu temen-temen dengan segala perubahan yang ada.
***
Sodikin
Alumni ‘95
