Sabtu, 31 Desember 2005


Istana Merdeka adalah yang paling diingat khalayak diantara enam Istana Kepresidenan meski jelaslah ia bukan yang paling tua, paling megah, atau paling indah. Istana Negara yang berada di belakang dan satu halaman dengannya, jauh lebih dulu dibangun. Istana Bogor jelas lebih luas dan megah. Sementara Istana Yogyakarta mempunyai peran paling besar dalam revolusi kemerdekaan. Pastilah khalayak tahu bahwa Istana Merdeka adalah tempat kediaman resmi Presiden, khususnya Presiden pertama, dan tempat berlangsungnya upacara-upacara kenegaraan. Ia mendapat tempat khusus di hati rakyat karena bernama Merdeka perlambang kemenangan perjuangan bangsa. Nama itu menandai berakhirnya penjajahan di Indonesia dan mulainya pemerintahan oleh bangsa sendiri.

Pemberian nama itu mempunyai latar sejarah tersendiri. Pada tanggal 27 Desember 1949 Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Acaranya berlangsung di dua tempat: di Istana Gambir, Jakarta, Indonesia, dan Istana Dam, Amsterdam, Belanda. Di Istana Gambir, Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink melakukan upacara itu di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia. Karena perbedaan waktu antara Amsterdam dan Jakarta, upacara di Istana Gambir itu dimulai menjelang senja. Matahari sudah hampr terbenam ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera Merah-Putih-Biru untuk terakhir kalinya merayap turun dari puncak tiangnya. Masyarakat yang berkumpul di luar halaman Istana GamBir bersorak-sorak menyaksikan turunnya bendera tigawarna itu. Sorak-sorai kian gemuruh setelah kemudian lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan mengantar bendera Merah-Putih ke puncak tiang. “Merdeka ! Merdeka! Hidup Indonesia!.”

Sementara di Troonzaal (Bangsal Singgasana) Istana Dam, Amsterdam, Ratu Juliana menandatangani naskah pengakuan kedaulatan itu dan menyerahkan kepada Perdana Menteri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang memimpin Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan itu. Untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan di Istana Dam. Kobaran pekik Merdeka pada senja bersejarah itulah yang kemudian menggerakkan Bung Karno untuk mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka.

Bangunan Istana Negara didirikan pada tahun 1796.semula ia adalah rumah Jacob Andries van Braam, mantan Residen Belanda pertama untuk Surakarta yang menjadi kaya-raya karena jabatan-jabatannya dibawah Gubernur Jenderal Daendels. Sedangkan bangunan Istana Merdeka, yang memang dimaksudkan sebagai Istana, dibangun pada tahun 1873 dan selesai enam tahun berikutnya. Kedua bangunan itu berada di kawasan yang dimasa lalu bernama Weltervreden (dalam bahasa Belanda berarti sangat memuaskan) merupakan kantung permukiman orang-orang Belanda dan terhitung paling elit. Weltervreden kala itu dikenal sebagai kota yang tertata cantik dengan pohon-pohon yang dipangkas rapi seperti di taman-taman Eropa. Pejabat-pejabat dan saudagar-saudagar kaya Belanda segera membangun rumah-rumah besar di Weltervreden. Terdapat dua taman di Weltervreden, yaitu : Koningsplein (sekarang taman Monas) dan Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Di sisi Koningsplein yang lain, membelakangi taman pada kedua sisi anak sungai Ciliwung, terbentang dua jalan pada saat itu disebut Noordwijk (sekarang Jalan Juanda) dan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran).

Di Rijkswijk itulah pada tahun 1796 Van Braam membangun sebuah rumah besar yang berhalaman sangat luas dan menghadap ke anak sungai Ciliwung. Bangunan bekas rumah Van Braam aslinya merupakan bangunan bertingkat dua. Pada tahun 1848, tingkat atasnya diruntuhkan dan bagian depannya dibuat lebih lebar untuk menampilkan wajah yang lebih resmi sesuai dengan martabat pembesar yang menghuninya. Di kiri-kanan gedung utama dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal. Disamping untuk penginapan Gubernur Jenderal, gedung bekas rumah Van Braam juga menampung funsi sekretariat umum pemerintahan. Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang yang kemudian memperoleh nama sebagai Gang Secretarie. Dalam perjalanan waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.

Pada tahun 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun sebuah hotel baru dibelakang Hotel Gubernur Jenderal di Rijswijk. Seorang arsitek bernama Drossares dipercayakan untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein yang kelak bernama Istana Merdeka. Gagasan itu baru tuntas diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Sementara itu, bangunan lama yang menghadap Rijswijk akhirnya diperluas. Istana Negara dan Istana Merdeka dibangun mengikuti konsep rumah panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau pasang surut air. Konsep rumah panggung itu juga berfungsi sebagai sarana aliran udara (ventilasi) untuk menyejukkan isi bangunan.

Dengan hadirnya teknologi penyejuk udara di masa modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan diubah menjadi berbagai ruang layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya. Gaya arsitektur Pallado tampak jelas dari eksterior kedua gedung ini yang menampilkan saka-saka bercorak Yunani. Ada enam saka bundar laras Doria di bagian depan Istana Merdeka, sedangkan bagian depan Istana Negara menonjolkan 14 saka dengan laras yang sama. Kesan arsitektur Palladio juga terlihat pada bingkai-bingkai jendela dan pintu yang besar disamping lengkung-lengkung gapura di kedua sisi Istana Merdeka. Kedua Istana Jakarta ini mempunyai ciri yang hampir mirip, yaitu serambi depan yang luas dan terbuka. Di Istana Merdeka, serambi itu dicapai dengan mendaki 16 anak tangga batu pualam, langsung dari arah depan.

Di Istana Negara, serambinya yang sedikit lebih sempit dicapai dari dua anak tangga di sisi kanan dan kiri, dan bagian depannya ditutup dengan pagar balustrada. Sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, Insinyur Sukarno dan keluarga semula tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, dan terpaksa mengungsi ke Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan karena agresi Belanda. Sukarno dan keluarga baru masuk Istana Gambir pada 28 Desember 1949, sehari setelah penyerahan kedaulatan. Sebelumnya Istana Gambir dihuni oleh Dr. Hubertus J. Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal, hingga 1948, dan kemudian oleh Dr. L.M.J. Beel, Wakil Tinggi Mahkota.

Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukan kedatangan Bung Karno dengan pekik kemerdekaan. Semua peristiwa ini dilaporkan secara pandangan mata melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Dengan gaya yang khas Bung Karno kemudian berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdekan dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara. Presiden Sukarno memakai sebuah ruang di sisi timur Istana Merdeka sebagai kamar tidurnya. Ruang tidur itu berseberangan dengan ruang kerjanya dan dipisahkan oleh bangsal luas yang dikenal sebagai Ruang Resepsi. Ruang tidur Bung Karno tidak mempunyai kamar mandi sendiri. Bung Karno dan Ibu Fatma menggunakan kamar mandi yang terletak di belakang kamar tidur, bersebelahan dengan kamar tidur Guntur, anak sulung mereka. Semuanya berada di sisi timur Istana Merdeka. Sisi barat depan Istana Merdeka dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan yang lebih resmi. Di antara serambi depan dan ruang kerja Presiden semula merupakan teras terbuka dengan perabotan dari rotan. Ruangan ini pada masa Presiden Soeharto ditutup tembok. Sebagian menjadi ruang tunggu untuk para duta besar sebelum menyerahkan surat keprecayaan kepada Presiden. Sebagian lagi menjadi ruang tamu Presiden yang kemuadian dikenal sebagai ruang Jepara karena ruangan ini pada masa Presiden Soeharto diisi dengan meja-kursi kayu dan ragam interior dari ukuran Jepara. Ruang kerja Presiden Sukarno diisi dengan meja dari kayu jati masif, setelan kursi tamu dari kulit, dan dua dinding yang dipenuhi lemari buku tingginya sepertiga dinding. Ruang kerja ini nyaris tidak berubah setelah ditinggalkan Bung Karno dan selama 32 tahun dipergunakan oleh Presiden Soeharto.

Baru pada masa Presiden B.J. Habibie ruang tersebut mengalami sediikt perubahan. Ketika putra-putri Bung Karno masih kecil, mereka tidak dikirim ke sekolah umum. Sebuah gazebo di pelataran tengah diubah menjadi kelas taman kanak-kanak bagi mereka. Gazebo itu di masa Hindia-Belanda dipakai sebagai muziek-koepel tempat para pemusik bermain pada acara-acara pesta kebun. Guru untuk taman kanak-kanak itu didatangkan ke sana. Anak-anak staf Istana yang seusia juga diajak bersekolah di situ untuk menemani putra-putri Bung Karno. Kebanyakan mereka tinggal di bangunan samping untuk karyawan Istana, di lahan yang sekarang menjadi kompleks Sekretariat Militer.

Di pelataran juga terdapat sebuah bangunan yang disebut sanggar. Bangunan itu terbuat dari kayu, bertingkat dua, dan sering dipakai Bung Karno sebagai studio untuk melukis atau menulis naskah pidato. Kelak di atas lokasi ini Pak Harto membangun Puri Bhakti Renatama yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan lukisan dan benda-benda seni.

Pada masa Bung Karno, bagian-bagian luar Istana Merdeka masih terbuka sehingga merupakan serambi-serambi dan beranda-beranda yang luas. Sekeliling Istana, sekalipun berpagar, tetap memberi kesan terbuka. Beberapa bagian beranda yang terbuka itu dilengkapi dengan setelah kursi-kursi rotan. Di situ kadang-kadang Presiden Sukarno menemui tamu-tamunya, termasuk juga melayani wawancara para wartawan. Untuk menegaskan Istana Jakarta sebagai tempat tinggal keluarga Presiden dan tempat kerja Presiden dan stafnya maka dirasa perlu menyediakan tempat ibadah di lingkungan itu. Akhirnya dibangunlah Masjid Baiturrahim disamping barat Istana Merdeka dengan arsitek R.M. Soedarsono pada tahun 1958 dan selesai pada tahun 1961. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, masjid itu diperluas pada sisi selatan dengan bangunan simetris dengan sisi utara, sedangkan bagian dalam kubah masjid dihiasi dengan kaligrafi dari ayat-ayat suci Alquran.

Setelah membangun Masjid Baiturrahim, Presiden Soekarno juga memerintahkan Soedarsono merancang bangunan tempat tinggal para tamu negara di dalam lingkungan Istana Jakarta. Bangunan bertingkat enam itu disebut Wisma Negara, terletak di sisi barat pelataran dalam Istana Jakarta dan dibangun sepanjang tahun 1962-1964. Lantai teratas Wisma negara adalah ruang makan dan ruang tamu bagi para tamu agung negara. Lantai lima atalah suite untuk tamu agung setingkat kepala negara, sedangkan lantai empat merupakan suite bagi tamu agung sederajat perdana menteri atau wakil presiden. Wisma Negara juga dilengkapi dengan kantor pos, salon pangkas dan kecantikan, tempat penukaran uang, serta toko cenderamata. Halaman luas yang menjadi pelataran bagi Istana Merdeka, Istana Negara, dan Wisma Negara juga menjadi surga bagi berbagai macam burung. Sesuai dengan musimnya, ratusan burung betet, perkutut, jalak menyinggahi halaman Istana Jakarta. Bung Karno dulu selalu meminta para staf untuk menyediakan makanan bagi peliharaan burung-burung. Sebagai pecinta kemerdekaan, ia juga dikenal pembenci sangkar burung. Pada masa pemerntahan Presiden Megawati, Taufiq Kiemas, suami Presiden, menanam pohon salam di halaman ini untuk mengundang burung-burung bebas. Beberapa arca kuno juga menghiasi berbagai sudut pekarangan Istana Jakarta. Salah satu diantaranya adalah arca Dhyani Boddhisattva, yang berasal dari Jawa Tengah pada abad ke-9 merupakan arca langka yang sudah ada disana sejak masa Hindia-Belanda. Bila Presiden Sukarno sedang berada di Istana Jakarta, sebuah bendera kepresidenan berwarna kuning dengan bintang emas ditengahnya dikibarkan di atas Istana Merdeka. Sejak Presiden Soeharto, penandaan seperti itu tidak dilakukan lagi. Denyut kehidupan Istana Jakarta berubah sejak Jenderal TNI Soeharto menggantikan Ir. Sukarno.

Sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua, Presiden Soeharto memutuskan untuk tinggal di kediaman pribadinya di Jalan Cendana 8, Jakarta. Sejak itu praktis Istana Merdeka dan Istana Negara hanya dipakai sebagai tempat kerja, upacara, dan resepsi kenegaraan. Pak Harto berkantor di Bina Graha yang terletak di sebelah timur Istana Negara, menghadap ke arah Sungai Ciliwung, kemudian menjadi kantor resmi Pak Harto. Gedung ini berdiri di atas lahan bekas Hotel Dharma Nirmala, bangunan yang pada masa sebelumnya bernama Hotel der Nederlanden dan Raffles House. Presiden Soeharto mempunyai dua ruang kerja di Bina Graha, yaitu di lantai dasar dan lantai atas. Kedua ruang kerja ini dihubungkan dengan tangga. Ruang kerja di lantai atas biasanya dipakai sebelum menghadiri sidang-sidang kabinet terbatas. Ruang kerja di lantai bawah dipakai untuk menerima tamu-tamu yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan. Untuk menerima tamu negara dan pejabat lembaga tinggi negara, Presiden Soeharto menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka. Pada dasawarsa terakhir masa pemerintahannya, Pak Harto bahkan makin sering menggunakan kediamannya di Jalan Cendana untuk menerima para tamu. Pada periode itu Pak Harto juga mulai sering menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka pada hari Jumat agar dekat dengan Masjid Baiturrahim. Beliau juga menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka itu untuk pertemuan-pertemua yang bersifat khusus. Tidak adanya kebutuhan untuk kehidupan rumah tangga di Istana Merdeka juga mengubah berbagai fungsi ruangan. Atas persetujuan Presiden Soeharto, bekas kamar tidur Bung Karno pada renovasi tahun 1997 diubah menjadi tempat untuk menyimpan Bendera Pusaka dan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan. Patung dada Bung Karno dan Bung Hatta juga ditempatkan di ruang itu. Pada dinding utara ruang pusaka itu dipasang relief yang menggambarkan Sajuti Melik mengetik teks proklamasi, serdangkan pada dinding selatan menggambarkan Ibu Fatmawati menjahit Bendera Pusaka.

Diantara semua Presiden Republik Indonesia, Presiden Habibie yang paling sering membawa tamunya mengunjungi Ruang Bendera Pusaka ini. Bekas ruang tidur Ibu Fatmawati di sisi barat, disamping belakang ruang kerja Presiden, diubah menjadi dua ruang tidur untuk istirahat kepala negara, dilengkapi dengan kamar mandi yang telah direnovasi. Pak Harto hanya menggunakan ruang ini untuk bermalam setiap tanggal 16 Agustus setelah mengikuti upacara ranungan suci di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, menjelang upacara peringata hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ruang Kredensial yaitu bangsal pertama yang dicapai setelah memasuki pintu utama Istana Merdeka dari arah serambi depan, tidak berubah fungsinya. Di situlah para duta besar negara sahabat menyampaikan surat keprecayaan (kredensial) kepada Kepala Negara Republik Indonesia. Di ruang ini pula Kepala Negara setiap tahun menerima para duta besar yang menyampaikan ucapan selamat ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dibelakang Ruang Kredensial terdapat sebuat koridor yang memisahkan Ruang Jepara di sisi barat sedangkan di sisi timu adalah salon yang dipakai sebagai ruang kerja, ruang tamu, dan ruang makan Ibu Negara.

Pada masa Presiden Megawari, ruang ini dirombak menjadi Ruang Raden Saleh, khusus untuk menyimpan lima lukisan Raden Saleh. Melalui koridor yang memisahkan Ruang Jepara dan Ruang Raden Saleh, para tamu bisa melangkah ke bangsal berikutnya, yaitu Ruang Resepsi yang merupakan ruang terluas di Istana Merdeka. Beberapa resepsi kenegaraan khususnya pada 17 Agustus malam diselenggarakan di ruang ini. Ruang Respsi ini berlanjut ke serambi belakang yang sudah diperluas sejak renovasi tahun 1997. serambi ini semula merupakan teras terbuka, kemudian ditutup pada masa Presiden Soeharto dengan dinding pintu dan jendela kaca yang disesuaikan dengan gaya arsitektur bangunan.

Serambi belakang tertutup ini juga bersambung ke sebuah teras terbuka yang menghadap ke pelataran Istana Jakarta. Di bagian atas dinding dalam serambi tersebut dihiasi dengan relief aksara Arab yang mengandung arti damailah mereka yang berkunjung ke tempat ini pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.

Di halaman depan Istana Merdeka berdekatan dengan kolam air mancur, berdiri sebuah tiang bendera dari beton setinggi 17 meter. Sebelumnya, pada masa Hindia-Belanda, bendera dikibarkan di puncak Istana Merdeka. Setiap tahun dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan, pada tiang bendera ini dikibarkan duplikat Bendera Pusaka. Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan di Istana Merdeka mempunyai ciri khas masing-masing, baik pada masa Bung Karno maupun Pak Harto. Pada masa Bung Karno, masyarakat datang berduyun-duyun pada puncak peringatan untuk mendengar pidato Bung Karno serta melihat parade di Jalan Medan Merdeka Utara dengan panggung kehormatan di depan Istana Merdeka. Pada masa Pak Harto, parade militer diubah menjadi Pawai Pembangunan yang diselenggarkan pada setiap tanggal 18 Agustus. Presiden kedua ini juga melembagakan acara makan malam Peringatan Hari Kemerdekaan dengan mengundang para perintis kemerdekaan, veteran dan warakawuri di Istana Merdeka. Pada masa Pak Harto, upacara dipusatkan pada detik-detik Proklamasi dengan pembacaan Naskah Proklamasi. Upacara pengibaran dan penurunan bendera pada senja hari dikembangkan menjadi seremoni yang anggun. Pada masa inilah mulai diperkenalkan konsep Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang terdiri dari siswa-siswi SMU terpilih yang mewakili provinsi Indonesia. Pada bulan-bulan lainnya, sejak tahun 1984, setiap senja tanggal 17 diselenggarakan acara tetap di halaman depan Istana Merdeka, yaitu upacara penurunan bendera dan penggantian regu Kawal Jaga Istana. Upacara yang disebut Parade Senja itu disemarakkan dengan atraksi marching band dari berbagai sekolah atau organisasi massa, serta kolone senjata yang diiringi Korps Musik Pasukan Pengamanan Presiden.

Secara bertahap Istana Jakarta pun mengalami perubahan wajah. Kegemaran Ibu Negara Tien Soeharto terhadap ukir-ukiran kayu Jepara dengan segera mengubah penampilan Istana. Di luar bergaya Palladio, didalam bergaya Jepara. Menurut Joop Ave, yang menjabat sebagai Kepala Istana-Istana Presiden pada saat diawalinya renovasi interior, upaya itu juga untuk mengindonesiakan sekaligus memasyarakatkan Istana. Ketika Sampoerno menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, pengindonesiaan ragam hias tersebut dilanjutkan Ruang tamu Presiden di sisi Istana Merdeka misalnya, kemudian diberi nama Ruang Jepara, karena menggunakan ragam hias ukiran Jepara. Pada dinding-dindingnya digantung beberapa relief ukiran kayu berukuran besar. Salah satunya menggambarkan epik Ramayana. Beberapa saka di ruang itu juga dibungkus dengan kayu berukir. Dua pasang saka masif berlaras Ionia, masing-masing di Ruang Kredensial dan di Ruang Jepara, juga dibungkus dengan ukiran Jepara. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lantai marmer di berbagai ruang utama Istana Merdeka ditutup permadani berwarna merah marun, sedangkan di Istana Negara dengan permadani warna hijau hutan. Permadani itu memakai hiasan dengan ragam hias lung-lungan di sepanjang tepi serta bagian tengahnya. Di Ruang Kredensial, hiasan tenga permadaninnya memakai motif Cakra Manggilingan. Pilihan warna merah untuk Istana Merdeka dan hijau untuk Istana Negara juga diterapkan pada gorden atau tirai jendela dan pintu di kedua bangunan itu.

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, gorden di Istana Merdeka diubah warnanya menjadi biru. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, jabatan Kepala Rumah Tangga Istana diubah menjadi Sekretariat Presiden RI yang pada masa presiden Megawati dijabat oleh Kemal Munawar. Presiden Megawati mengangkat staf khusus Kris Danubrata yang ditugasi melakukan penataan ulang interior Istana-Istana Presiden Republik Indonesia. Hal pertama yang dilakukannya adalah melepaskan semua ukiran-ukiran Jepara dari interior Istana Merdeka dan Istana Negara kecuali Ruang Jepara yang sengaja dilestarikan sebagai bagian sejarah kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan nuansa asli klasik Eropa pada Istana Jakarta. Secara bertahap dilakukan pula penggantian gorden dan karpet di Istana Jakarta. Gorden yang semula tebal dan berwarna massif digantikan dengan vitrase semi-transparan yang memberi kesan ringan dan terbuka. Karpet yang semula wall-to-wall diganti dengan lembaran-lembaran luas kapet Persia, Pakistan, dan Afganistan, yang menimbulkan kesan ramah dan akrab. Kursi dan sofa dari kayu ukiran Jepara dengan bantalan berwarna kuning emas yang semula memenuhi Istana Jakarta juga diganti dengan kursi dan sofa peninggalan kolonial Hindia-Belanda dulu. Sebagian besar mebel itu dikeluarkan kembali dari gudang untuk direnovasi dan diganti bantalan baru dengan warna dan corak yang menimbulkan kesan elegan dan hangat.

Di masa Presiden Megawati dilakukan penataan dan penempatan kembali lukisan serta benda-benda seni lainnya dengan penataan interior yang baru. Beberapa lukisan dikembalikan ke tempatnya semula seperti ketika pada awalnya ditempatkan secara khusus oleh Bung Karno atas pertimbangan estetis dan teknis yang khusus. Presiden Megawati juga memilih untuk tidak tinggal di Istana Merdeka. Sekalipun demikian Ibu Mega menggunakan Istana Negara sebagai kantornya. Oleh karenanya, Istana Negara perlu mengalami sedikit perubahan penataan interior. Istana negara pada dasarnya terdiri dari dua balairung besar: Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Sesuai dengan namanya, Ruang Upacara adalah untuk tempat penyelenggaraan upacara-upacara resmi kenegaraan. Di masa Hindia-Belanda, Ruang Upacara dipakai sebagai ballroom untuk pesta-pesta yang disemarakkan dengan acara dansa. Di Ruang Upacara tersedia dua perangkat gamelan: Jawa dan Bali, masing-masing ditempatkan di timur dan barat dari podium yang berada di sisi selatan Ruang Upacara. Jika upacara mengharuskan diperdengarkan lagu kebangsaan dengan korps musik dari pasukan pengamanan presiden maka ditempatkan di serambi belakang yang hanya dipisahkan oleh dinding belakang podium Ruang Upacara. Auditorium ini dapat menampung seribu hadirin berdiri atau 350 hadirin duduk. Sedangkan Ruang Jamuan dipakai untuk jamuan kenegaraan atau sebagai tempat para tamu beramah-tamah setelah upacara selesai. Ruangan ini dapat menampung 150 orang. Sebuah luisan Basoeki Abdullah bertema Ratu Kidul merupakan elemen hias utama di ruang ini. Serambi depan yang terbuka, menghadap ke Jalan Veteran dapat dicapai dengan anak-anak tangga di kedua sisinya. Melalui pintu-pintu kaca, pengunjung akan tiba di ruang depan. Ruang depan ini dipergunakan sebagai tempat untuk tukar-menukar cinderamata antara dua kepala negara sebelum memasuki Ruang Jamuan. Di ruang ini terdapat tiga kandelabra besar dan sepasang cermin antik yang tingginya hamper mencapai tiga meter. Dari depan ini terdapat sebuah koridor untuk mencapai Ruang Jamuan. Sejumlah lukisan bertema revolusi kemerdekaan karya S. Sudjojono, Dullah, dan Rustamadji dipajang di kedua dinding di sepanjang koridor itu. Di kedua sisi koridor itu terdapat beberapa ruang khusus. Di sisi barat terdapat suite untuk Wakil Presiden dan ruang tunggu tamu Presiden. Ruang tamu Presiden ini dulunya merupakan Ruang Pusaka untuk menyimpan berbagai benda pusaka. Di ruang ini Presiden menemui tamu-tamunya. Ruang kerja Presiden berada di sisi timur koridor ini, diapit dengan ruang tunggu tamu dan ruang ajudan. Ruang kerja ini hanya dilengkapi dengan sebuah meja kerja besar, sebuah kursi kerja untuk Presiden, dua kursi hadap, dan sebuah lemari panjang untuk menyiman berbagai benda seni dari keramik dan perak. Di belakang ruang kerja ini terdapat ruang istirahat dan ruang makan bagi Presiden.

Pemerintahan Presiden Soeharto berakhir dalam sebuah upacara mendadak di Ruang Kredensial Istana Merdeka pada tanggal 21 Mei 1998. dalam acara singkat yang disiarkan langsung melalui televisi, Wakil Presdien Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung untuk memulai tugasnya sebagai Presdien Republik Indonesia yang ketiga. Presiden Habibie tinggal di kediaman pribadi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dan berkantor di Istana Merdeka. Ia menggunakan kantor di Bina Graha hanya pada saat-saat tertentu, misalnya bila memimpin Sidang Kabinet Terbatas. Untuk itu, dilakukan berbagai penyesuaian untuk membuat ruang kerja di Istana Merdeka itu memenuhi syarat guna menunjang kerja seorang Presiden yang akrab dengan teknologi baru. Sebuah setelah sofa dari kulit bergaya Chesterfield ditempatkan di ruang kerja. Di atas meja kerja ditempatkan dua komputer. Pada batang lampu-duduk di atas meja kerja. Presiden Habibie menggantungkan sebuah boneka beruang kecil yang didapatnya dari seorang teman sebagai kenang-kenangan. Irama kerja Presiden Habibie berbeda dengan irama kerja kedua pendahulunya. Sebagai orang yang bekerja tanpa henti hingga larut malam, Pak Habibie baru memulai acaranya di Istana Merdeka pada pukul sepuluh pagi. Kadang-kadang ia tidak keluar dari Istana hingga menjelang tengah malam. Pada hari Sabtu, ia mengkhususkan waktunya di Istana Merdeka untuk menerima wartawan yang hendak mewawancarainya. Untuk menerima tamu-tamu diantara dua kegiatan di Istana Negara dan Istana Merdeka, Presiden Habbie kadang-kadang menggunakan salah satu ruang di Puri Bhakti Renatama. Ini juga demi alasan praktis karena gedung itu terletak dalam perjalanan antara kedua Istana. Untuk jumpa pers, ia sering mengundang para wartawan ke Wisma Negara. Presiden Habibie juga sering memanfaatkan ruang makan yang berbeda untuk acara santap siangnya. Ia sering membawa sendiri makan siangnya dari rumah. Presiden Habibie hanya sempat memerintah selama 13 bulan, dan menyerahkan kepemimpinan bangsa Indonesia kepada Presiden Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur.

Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur memindahkan keluarganya ke Istana Merdeka. Ia menggunakan ruang tidur yang semula dipergunakan Bung Karno di Istana Merdeka. Gaya hidup Gus Dur yang sangat terbuka memberi warna baru degup kehidupan Istana Jakarta. Seringkali Istana hidup selama 24 jam karena berbagai jamuan dan pertemuan keluarga yang menghadirkan tamu berjumlah besar. Gus Dur juga bekerja di ruang kerja Bung Karno. Sebaliknya, Presiden Megawati justru tidak menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka sebagai kantornya, melainkan salah satu ruangan di Istana Negara. Pada masa Presiden Megawati dipersiapkan rencana memindahkan Kantor Presiden ke Puri Bhakti Renatama yang terletak di pelataran dalam antara Istaa Merdeka dan Istana Negara. Bangunan tambahan itu dibangun semasa Presiden Soeharto sebagai museum untuk menyiman lukisan dan benda-benda seni serta benda-benda hadiah. Tetapi karena koleksi lukisan, benda seni, dan benda hadiah terus bertambah, museum itu tidak mampu lagi menampung semuanya. Gedung Bina Graha yang semula menjadi Kantor Presiden diubah fungsinya menjadi museum untuk menyimpan semua koleksi benda seni yang tidak dipajang di Istana. Sedangkan bekas bangunan museum itu direnovasi menjadi kantor Presiden yang baru, lengkap dengan ruang untuk konferensi pers dan ruang Rapat Kabinet. Baik pada masa penjajahan maupun masa kemerdekaan, Istana Negara dan Istana Merdeka sarat dengan berbagai puncak peristiwa sejarah.

Di Istana Rijswijk pada tahun 1829 Gubernur Jenderal G.A.G. baron Van Der Capellen mendengarkan rancana Jenderal Hendrik Merkus baron De Kock untuk menumpas pemberontakan Diponegoro. Sebagai Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda De Kock berhasil memerpdaya Diponegoro pada awal 1830 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Graaf Van Den Bosch.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati pada hari Selasa, 25 Maret 1947. Persetujuan ini antara lain menetapkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda akan bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasarkan prinsip federasi. Setahun kemudian, pada tanggal 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. Van Mook. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, beberapa puncak peristiwa sejarah yang terjadi di Istana Merdeka dan Istana Negara antara lain adalah: pembubaran Republik Indonesia Serikat dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950. Dekrit Presiden Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 di depan Istana Merdeka pada 5 Juli 1959, pidato Dekrit Ekonomi di Istana Negara pada tanggal 28 Maret 1963 sebagai akibat ditolaknya permintaan utang kepada IMF (Dana Moneter Internasional).

Di masa Presiden Sukarno halaman Istana Merdeka juga beberapa kali dipakai untuk pawai raksasa. Isu tentang pengepungan Istana Jakarta oleh sekelompok tentara pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto tampaknya mengulangi insiden serupa yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Presiden Sukarno. Ketika itu, Presiden Sukarno segera meninggalkan Istana Jakarta dengan helikopter menuju Istana Bogor. Ruang Kredensial Istana Merdeka menjadi perhatian dunia ketika pada tanggal 21 Mei 1998 dilangsungkan upacara singkat pengambilan sumpah Presiden Habibie yang disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru dunia. Sekelompok mahasiswa sempat mendekati halaman depan Istana Merdeka untuk melakukan unjuk rasa.

Hampir semua kepala negara dan kepala pemerintahan dari seluruh dunia telah mendaki anak-anak tangga Istana Merdeka di Jakarta. Nama-nama mereka tercatat dalam daftar panjang para tamu negara di Istana Jakarta. Beberapa nama besar dalam sejarah dunia yang pernah berkunjung ke Istana Jakarta antara lain adalah: Shri Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Indira Gandhi, Ratu Elizabeth, Raja Norodom Sihanouk, Jaksa Agung Robert Kennedy, Presiden Nelson Mandela, Kanselir Helmut Kohl, Presiden Bill Clinton, dan Putri Diana. Sampai kini, tercatat 23 kepala pemerintahan yang pernah memakai kompleks Istana Jakarta ini, yaitu: 15 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, tiga Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara ke-16 Jepang di Jawa), dan lima orang Presiden Indonesia. Dari 15 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, hanya empat orang yang benar0benar tinggal di Istana Waltevreden; yang lain menetap di Istana Buitenzorg dan hanya datang ke Batavia untuk menghadiri pertemuan Raad van Indie. Hanya dua orang Presiden Republik Indonesia yang pernah tinggal di kompleks Istana Jakarta yaitu Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.



Sumber Sekretariat Negara Republik Indonesia

Disarikan oleh :
Drs. Winarto
(alumni SMAN 1 Tumpang - Lulus tahun 1983)






Jumat, 30 Desember 2005

NO. TAHUN NAMA KOTA
URUT LULUS LENGKAP DOMISILI
1 1983 Agus Anggraini Malang
2 1983 Amala Rosidah Malang
3 1983 Anik Masruroh Jakarta
4 1983 Bagyo Santoso Lombok
5 1983 Dwika Juliananta Wachyudi Jakarta
6 1983 Efendi Budianto Balikpapan
7 1983 Gendon Malang
8 1983 Hery Sutrisno Kupang
9 1983 Mat Nasir Malang
10 1983 May Malang
11 1983 Mudiarso Malang
12 1983 Muji Mangastuti Malang
13 1983 Mujiono Malang
14 1983 Nurali Akhmad Malang
15 1983 Samsul Fauzi Bontang
16 1983 Santi Malang
17 1983 Sulistyono Kediri
18 1983 Sulistyowati Lumajang
19 1983 Tri Roni Hari Yuswanto Jember
20 1983 Trin Norma Jakarta
21 1983 Winarto Jakarta
22 1983 Yudhi Pribadi Malang
23 1983 Yudiet Surabaya
24 1984 Agus Sulistyo Banyuwangi
25 1984 Lutfi Jakarta
26 1985 Agus Prihandono Madiun
27 1985 Bambang Irawan Wibisono Papua
28 1985 Basuki Djamasyah Probolinggo
29 1985 Hartono Gombong
30 1985 Lasidi Malang
31 1985 Setyo Malang
32 1985 Yani Bekasi
33 1986 Agus Purwanto Malang
34 1986 Ahmad Zainuri Karawang
35 1986 Anisya Pandaan
36 1986 Arief Suyanto Jakarta
37 1986 Budiono Bekasi
38 1986 Eko Santoso Surabaya
39 1986 Hariati Malang
40 1986 Hery Prihantono Depok
41 1986 Ida Maghfuroh Bekasi
42 1986 Kiswi Setyaningsih Tulung Agung
43 1986 Ludvi Widodo Bontang
44 1986 Luthfi Muslikhin Malang
45 1986 Mansur Syafii Tulung Agung
46 1986 Nanang Yulianto Jakarta
47 1986 Nuradi Jakarta
48 1986 Nuryadin Yuswoko Jakarta
49 1986 Santo Sugiwahyono Tulungagung
50 1986 Sri Anik Mumpuni Malang
51 1986 Sugeng Hari Purwanto Malang
52 1986 Tovi Amul Hadi Malang
53 1986 Yuyud Puspita Jaya Tarakan
54 1986 Zainuri Karawang
55 1987 Akhmad Saikhu Malang
56 1987 Ananto Budi Prayogo Sidoarjo
57 1987 Dwi Sumartono Malang
58 1987 Edy Yulianto Malang
59 1987 Gumintarsih Sidoarjo
60 1987 Hanif Nurofiq Malang
61 1987 Heru Widjaja Lingkar Jakarta
62 1987 Iman Prihatini Malang
63 1987 Izzati Mukayanah Malang
64 1987 Laila K. Malang
65 1987 Lestari Soho Asih Malang
66 1987 Lili Hidayati Malang
67 1987 Lily Surabaya
68 1987 Mariadi Surabaya
69 1987 Rika Indri Purweni Malang
70 1987 Salachudin Hasjim Malang
71 1987 Samsul Huda Maluku
72 1987 Siti Mas'udah Maimunah Jakarta
73 1987 Siti Zulaika Malang
74 1987 Sugeng Pribadi Jakarta
75 1987 Teguh Gunarko Mojokerto
76 1988 Ayusta Cakra Iswara Malang
77 1988 Erwin Batam
78 1988 Faishol Azis Malang
79 1988 Hari Subur Tjahjo Jakarta
80 1988 Iwan Priadi Malang
81 1988 Lita Repih Ermayanti Bandung
82 1988 Mochamad Amin Malang
83 1988 Widianto Malang
84 1989 Alfiah Malang
85 1989 Anton Malang
86 1989 Anwar Saifudin Malang
87 1989 Anwar Syaifudin Malang
88 1989 Atik Widayanti Malang
89 1989 Endi Mahmudi Malang
90 1989 Indana Ulfa Malang
91 1989 Sugeng Wahyudi Malang
92 1989 Tutik Purwati Malang
93 1990 Al Azar Zamrudin Bogor
94 1990 Alham Wafiq Azizi Jakarta
95 1990 Eko Happy Purwanto Jakarta
96 1990 Puji Sugiarto Jambi
97 1990 Vita Sanur Bali
98 1990 Wahyu Widiyanto Malang
99 1991 Hari Ahadiraga Denpasar
100 1991 Khalimatus Sa'adah Bekasi
101 1991 Sevi Endah Nugraheni Jakarta
102 1991 Tetri Pamungkas Sari Bekasi
103 1991 Wawan Ikhwan Malang
104 1992 Agnes Suprihatin Malang
105 1992 Agung Haryoko Jombang
106 1992 Ahmad Junaidi Malang
107 1992 Bambang Wijonarko Malang
108 1992 Iman Santoso Kuala Lumpur
109 1992 Irji' Sa'adi Malang
110 1992 M. Irji' Sa'adi Malang
111 1992 M. Lutfi Malang
112 1992 Rina Septiani Bintan
113 1992 Subandi Wibowo Malang
114 1993 Agus Budi Santoso Sidoarjo
115 1993 Ahmad Khoirul Malang
116 1993 Arif Yulianto Malang
117 1993 Arifin Malang
118 1993 Beny Tantowi Tasikmalaya
119 1993 Beny Tontowi Bandung
120 1993 Ely Kristiana F. Seoul-Korea
121 1993 Evie Maulidiyah Denpasar
122 1993 Farid Habibah Malang
123 1993 Fatkur Bandung
124 1993 Gufron Malang
125 1993 Hadi Siswoyo Pacitan
126 1993 Hartatik Jakarta
127 1993 Haryanto Bontang
128 1993 Hasan Marzuki Jakarta
129 1993 Hasan Taufig Bandung
130 1993 Imam Djumaedi Bogor
131 1993 Khamilatur Rodliyah Jombang
132 1993 Masyrifah Hidayati Nur Ngawi
133 1993 Maya Imawati Jakarta
134 1993 Novita Rahmawati Malang
135 1993 Yeanie Rachmawati Denpasar
136 1994 Hendro Kuswantoro Malang
137 1994 Herlina Susanti Jakarta
138 1994 Ngateno Malang
139 1994 Novita Fitri Dewi Malang
140 1994 Rany Maharsari Malang
141 1994 Setyo Budi Utomo Malang
142 1994 Yusuf Ari Wibowo Jakarta
143 1994 Yusuf Arifianto Jombang
144 1995 Abdul Halim Malang
145 1995 Audzu Wayin Malang
146 1995 Budi Laksono Putro Bandung
147 1995 Dewi Malang
148 1995 Dyah Indira Malang
149 1995 Dyah Indira Desem Susanto Malang
150 1995 Happy Hendra Iswanto Malang
151 1995 Hari Subekti Malang
152 1995 Mardiana Mulyanti Malang
153 1995 Mochammad Fatchullah Karawang
154 1995 Oktaris Mulyasari Pasuruan
155 1995 Rosana Yuli Kurniawati Malang
156 1995 Roy Trigodwin B. Malang
157 1995 Sodikin Bekasi
158 1995 Sri Marmi Malang
159 1995 Yetty Nurhayati Malang
160 1995 Yuyun Widyaningsih Malang
161 1995 Zainul Abidin Jombang
162 1996 Cecep Munir Jakarta
163 1996 Erna Hartatik Malang
164 1996 Evani Ika Kurniawati Malang
165 1996 Faiz Achyar Kalimantan
166 1996 Indriani Linda L. Bekasi
167 1996 Wediyanto Adi Nugroho Sumenep
168 1997 Afif Malang
169 1997 Agung Yudha Malang
170 1997 Aries Malang
171 1997 Dedi Malang
172 1997 Deni Artha Malang
173 1997 Dian Aprilia Malang
174 1997 Dian Eka Anggraini Jakarta
175 1997 Dian Rosmala Widiastutik Jombang
176 1997 Djoko Malis Korea
177 1997 Dwi Ana Maria Anwar Batam
178 1997 Dwijo Tangerang
179 1997 Eka Purwanti Kalimantan
180 1997 Eko Supriyono Makassar
181 1997 Eri Etiningsih Malang
182 1997 Farida Yulianti Malang
183 1997 Fatchur Rochman Malang
184 1997 Feni Ferawati Malang
185 1997 Fera Andayani Banten
186 1997 Hari Kurniawan Malang
187 1997 Haris Budi Wicaksono Bengkulu
188 1997 Harun Indarto Malang
189 1997 Hetty Wulandari Malang
190 1997 Ike Herawati Dwi C. Malang
191 1997 Indri Kawami Afrillyanti Malang
192 1997 Iwan Kurniawan Malang
193 1997 Junaedi Abdilah Surabaya
194 1997 Khoirul Huda Jakarta
195 1997 Khusnul Malang
196 1997 Kukuh Wicaksono Malang
197 1997 Lis Farida Hanim Malang
198 1997 Lu'lu'a Wardaniyah Makassar
199 1997 Luluk Malang
200 1997 M. Khoirul Huda Jakarta
201 1997 Naimatul Malang
202 1997 Ninik Indayati Jakarta
203 1997 Rahmad Hidayat Malang
204 1997 Rendi Jawa Tengah
205 1997 Samsul Malang
206 1997 Setyo Puguh Bekasi
207 1997 Shinta Via Yustina Malang
208 1997 Subhan Malang
209 1997 Suci Handayani Malang
210 1997 Susanto Malang
211 1997 Titin Malang
212 1997 Ulfa Maisaroh Malang
213 1997 Wina Kalimantan
214 1997 Yoyok Budi Jakarta
215 1997 Yulia Eka Rini Ponorogo
216 1997 Yulianik Indarwati Jakarta
217 1998 Bendot Sugiarto Malang
218 1998 Elvina Dwi Kristanti Malang
219 1998 Juwahir Malang
220 1998 Lailatul Rosida Malang
221 1998 Lailatul Rosida Malang
222 1998 M. Najmudin Malang
223 1999 Eli Hendrik Sanjaya Bandung
224 1999 Hari Mezuphi Malang
225 1999 Sri Wulandari Pasuruan
226 1999 Vita Agustin Septyan Malang
227 1999 Yusant Noor Yulia Pare Pare
228 2000 Dewi Amelia Christanti Malang
229 2000 Ika Purnamawati Malang
230 2000 Nawawi Asraf Wamena
231 2000 Yudha Istanto Malang
232 2000 Yuni Indarwati Malang
233 2001 Aditya Setyo Nugroho Malang
234 2001 Arya Guritno Surabaya
235 2001 Azharul Ulum Sya'bana Mojokerto
236 2001 Bagus Widiatmoko Bogor
237 2001 Bagus Widiatmoko Bogor
238 2001 Bambang Irawan Pasuruan
239 2001 Dhani Muflikin Arif Samarinda
240 2001 Diana Wahyuni Malang
241 2001 Eli Silmi Jakarta
242 2001 Erma Safitri Malang
243 2001 Erry Prabandari Malang
244 2001 Farid Hadi Siswoyo Malang
245 2001 Febi Diah Kurniawati Malang
246 2001 Gembong Pandhu Suprobo Probolinggo
247 2001 Gunawan Iswahyudi Malang
248 2001 Hadirno Malang
249 2001 Hadirno Malang
250 2001 Hafid Kurdianto Malang
251 2001 Jumain Malang
252 2001 Mohamad Safril Hermansyah Jakarta
253 2001 Novida Ayu Malang
254 2001 Prasetya Bobby Nurcahyo Malang
255 2001 Saikon Arif Malang
256 2001 Umar Faruk Malang
257 2002 Dian Alifatin Nur Rahma Malang
258 2002 Lisa Octarini Muktiati Malang
259 2002 Prasetyo Early Firmansyah Malang
260 2002 Totok Satriyo Wibowo Manado
261 2002 Wuliono Jember
262 2003 Bagus Artika Adhi Pratama Palembang
263 2003 Imania Mugiarum Malang
264 2003 Inung Malang
265 2003 Samuel Andik Purnomo Bekasi
266 2003 Surya Dewi Tenggarong
267 2004 Anis Fauziyah Malang
268 2004 Antok Rahmawan Malang
269 2004 Denny Hardiyanto Setiawan Malang
270 2004 Endik Malang
271 2004 Firman Herdiansah Malang
272 2004 Indra Ikhlasun Niam Malang
273 2004 Karishma Yuanita Malang
274 2004 Nita Agustina Malang
275 2004 Purnomo Aji Cikarang
276 2004 Rahadian Rendinata Malang
277 2004 Septiwi Kharina Anggarawati Batam
278 2004 Shinta Dewi Kartika Jakarta
279 2004 Wiratmoko Radeta Malang
280 2005 Ardhagian Krisnata Malang
281 2005 Nila Furaida Malang
282 2005 Rifa Ayudiah Firdaus Malang
283 2005 Yuesnia Kuestanti Surabaya
284 2006 Amri Affandi Malang
285 2006 Indra Agik Permana Malang
286 2006 Inge Dian Ainovi Surabaya
287 2006 Ira Agus Mulyati Malang
288 2006 Jabali Triono Simaremare Wamena
289 2006 Kurnia Azizah Malang
290 2006 Kurnia Endah Saraswati Malang
291 2006 Masrifatus Snaswianingtyas Bogor
292 2006 Satriyo Wibowo Jayapura
293 2006 Shohib Zuliawan Malang
294 2007 Amalina Mahmudah Malang
295 2007 Aulia Eva Mardiana Malang
296 2007 Citra Lia Octaviani Malang
297 2007 Diana Malang
298 2007 Dias F. Malang
299 2007 Dingga Septika Malang
300 2007 Erli Novita Malang
301 2007 Eva Malang
302 2007 Firmanudin Malang
303 2007 Gita Malang
304 2007 Joni Irawan Surabaya
305 2007 Kiki Putri Anggraini Malang
306 2007 Linda Malang
307 2007 Linda Rizki Maharani Malang
308 2007 Prima Wahyudi Firdaus Malang
309 2007 Ratna Malang
310 2007 Rizkiyatul Laili Malang
311 2007 Sylvia Wulan Eka Sari Malang
312 2007 Tito Santana Eriza Malang
313 2007 Widiyanti Malang
314 2007 Winda Malang
315 2008 Agung Sedayu Malang
316 2008 Ahmad Naharudin Malang
317 2008 Alvin Hana Nazizulah Malang
318 2008 Ana Lailatul Maghfiroh Malang
319 2008 Anggraeny Fitriana Malang
320 2008 Ari Wicaksono Malang
321 2008 Arif Kurniawan Malang
322 2008 Arista Devis Susanti Malang
323 2008 Arnis Asraf Merdila Malang
324 2008 Atik Wahyu Hardiningrum Malang
325 2008 Ayu Lestari Malang
326 2008 Bachtiary Hary Pravitasari Bogor
327 2008 Betsida Wardaningsih Malang
328 2008 Christ Luliorienta Finka Malang
329 2008 Dian Afri Malang
330 2008 Dian Anggraeny Malang
331 2008 Dian Safitri Malang
332 2008 Didik Sugianto Malang
333 2008 Dieska Natalia Malang
334 2008 Dimas Kukuh Yudistira Malang
335 2008 Diyan Ayu Gurindawati Malang
336 2008 Dwi Irawati Batam
337 2008 Dyah Ayu Ishlahiyah Malang
338 2008 Dyah Eka Malang
339 2008 Eka Diah Aristiawati Malang
340 2008 Erica Restic Novi Malang
341 2008 Ernita Dian Pratiwi Malang
342 2008 Ervin Aristya Desi Oktaria Malang
343 2008 Fauzia Irnani Malang
344 2008 Fitrotul Wahyuni Malang
345 2008 Haryoko Mukti Apri Wibowo Malang
346 2008 Hendra Baharudin Malang
347 2008 Heri Kiswanto Malang
348 2008 Ilma Umi Muthoharoh Malang
349 2008 Indah Astutih Cahyani Malang
350 2008 Indah Lestari Rahayu Malang
351 2008 Indah Mutalafiah Malang
352 2008 Izatul Muawanah Malang
353 2008 Kharisma Lukman Hakim Malang
354 2008 Kusaeri Malang
355 2008 Latifatur Lauziah Malang
356 2008 Mambaudin Ahmad Romdloni Malang
357 2008 Meirza Safitri Rizky Bogor
358 2008 Muhammad Hasan Fauzi Malang
359 2008 Muhammad Khuzer Malang
360 2008 Novi Dara Astarina Malang
361 2008 Novia Rizky Proboretno Malang
362 2008 Nuansa Bening DS. Malang
363 2008 Nurul Azizah Malang
364 2008 Okinove Dinarti Hyang Indah Ageng Malang
365 2008 Pratiwi Nurhayati Malang
366 2008 Pristiyan Malang
367 2008 Rafika Isti Rahayu Malang
368 2008 Rahayu Widodo Malang
369 2008 Rehani Cahyaningrum Malang
370 2008 Rina Rosita Sitoresmi Malang
371 2008 Rina Suryati Malang
372 2008 Romeo Satria Malang
373 2008 Santi Permana Sari Malang
374 2008 Surya Darma Malang
375 2008 Taufiq Hari Gunawan Malang
376 2008 Umul Kurotin Malang
377 2008 Vitakhuk Ulfa Malang
378 2008 Wahyu Mei Syaroh Malang
379 2008 Wahyudi Malang
380 2008 Windawati Indah Wahyuni Malang
381 2008 Yayok Prabowo Malang
382 2008 Yulia Rachmavita Malang
383 2008 Yusnia Eka Kurniawan Malang
384 2009 Achmad Fuad Amsari Malang
385 2009 Adiar Uwais A. Malang
386 2009 Afifah Firdausi Malang
387 2009 Ahmad Eko Syarifudin Malang
388 2009 Ajeng Widya Mugi Rahayu Malang
389 2009 Allif Krisnawati Malang
390 2009 Andi Triwicaksono Malang
391 2009 Andik Khoirul Aziz Malang
392 2009 Angga Siswanto Dian Pratama Malang
393 2009 Anis Khumaidah Malang
394 2009 Anjar Fahru Imansyah Malang
395 2009 Ari Amalia Malang
396 2009 Ari Wicaksono Malang
397 2009 Aulia Amin Malang
398 2009 Bagus Wijaya Malang
399 2009 Catur Devi Meilianti Malang
400 2009 Cendy Prastiwi Malang
401 2009 Darwis Fitriani Malang
402 2009 Des Swaria Hangga Malang
403 2009 Dewi Muawanah Malang
404 2009 Diah Agustina Malang
405 2009 Dian Irma Yunita Malang
406 2009 Dimas Adi S. Malang
407 2009 Dio Ramadhani Malang
408 2009 Dodi Dwi Laksono Malang
409 2009 Duta Prayoga Malang
410 2009 Dwi Kusmono Malang
411 2009 Dwi Novitasari Malang
412 2009 Eli Novita Malang
413 2009 Endri Hyansyah Malang
414 2009 Erik Sujiantoro Malang
415 2009 Erny Widyawati Malang
416 2009 Evita Setyorini Malang
417 2009 Fatimatuz Zahroh Malang
418 2009 Femayani Malang
419 2009 Fenny Rizkia Ismawatin Malang
420 2009 Figih Satriyo Aji Pamungkas Malang
421 2009 Fika Yuliana Malang
422 2009 Fitri Nuril Laili Malang
423 2009 Founda Nico Malang
424 2009 Hapsari Nurmasitoh Malang
425 2009 Heri Setyawan Malang
426 2009 Ida Nurdiana Malang
427 2009 Idah Ika Gold Tanzila Malang
428 2009 Ika Heni Nusanti Malang
429 2009 Ina Roudhotul Jannah Malang
430 2009 Intan Rizki Ahmada Malang
431 2009 Irvian Dwi Purnama Aji Malang
432 2009 Isnaeni Mahmudah Malang
433 2009 Isyarotul Khamidah Malang
434 2009 Jenar Mustika Ilmin Nafi'a Malang
435 2009 Khoirotul Amanah Malang
436 2009 Khoirul Malang
437 2009 Kiky Nur Palupi Malang
438 2009 Lailatul Fitria Malang
439 2009 Lilik Alfiana Malang
440 2009 Logista Isady Malang
441 2009 Lutvi Jaya Harianto Malang
442 2009 M. Anur Ro'uf Malang
443 2009 M. Zainul Karomi Malang
444 2009 Maria Puspitasari Malang
445 2009 Miftakus Saadah Malang
446 2009 Mohammad Aminudin Malang
447 2009 Mokhamad Ardyansyah Malang
448 2009 Natalia Andini Puput Sari Malang
449 2009 Nhiesa Megawati Malang
450 2009 Nigi Prawitasari Malang
451 2009 Nikke Dewi Wulan Dari Malang
452 2009 Novi Ardiana Malang
453 2009 Nur Muhammadi Malang
454 2009 Oka Isnain Agustiawan Malang
455 2009 Puri Rahayu Malang
456 2009 Rakhma Soka Saraswati Malang
457 2009 Ramadhany Helmy Fahriza Malang
458 2009 Ratih Ria Nurhayati Malang
459 2009 Ria Safitri Malang
460 2009 Roby Wijaya Puji Raharjo Malang
461 2009 Rully Oktaviani Malang
462 2009 Satrio Wicaksono Malang
463 2009 Shintya Agistya Malang
464 2009 Silvi Santriana Islami Malang
465 2009 Siti Maslicha Malang
466 2009 Siti Masruroh Malang
467 2009 Siti Nur Suudiyah Malang
468 2009 Sri Indriana Malang
469 2009 Sunarto Malang
470 2009 Ummi Nur Afiyah Malang
471 2009 Vivi Framelia S. Malang
472 2009 Viviana Ida Kurniawati Malang
473 2009 Winda Kurniawati Malang
474 2009 Yunia Risma Intani Malang
475 2009 Yunita Rahmawati Malang
476 2009 Yusi Puji Lestari Malang

***
Jika nama teman2 alumni belum tercantum,
mohon bantuan teman2 alumni semua untuk segera mengirim sms dengan format:

nama lengkap (sesuai ijazah sma) - tahun lulus - kota tempat domisili sekarang - no. telp yg bisa dihubungi
contoh :
sugeng pribadi - 1987 - jakarta - 081514315525

dikirim ke (salah satu):
0341-7575845 (Arief)
0815-8988345 (Ninik)
0815-14315525 (Sugeng)

**Semua sms yg masuk akan dihubungi lagi oleh Alumni yg bertugas di bagian registrasi alumni, untuk verifikasi.

**Untuk menjaga hal2 yg tidak diinginkan, yang ditampilkan disini adalah Nama, Tahun Lulusan dan kota domisili saja (no. telp/HP hanya untuk kepentingan verifikasi semata & bersifat rahasia).


Labels

Alumni (21) Amerika Serikat (1) Angkatan 1995 (1) Anti Korupsi (1) Arab Saudi (1) Arema Malang (1) Artikel (8) ASEAN (1) ay kusnadi (1) Ayusta (1) Bahasa (2) Balitjestro 2008 (1) Bandung (1) Bank Mandiri (1) Bantuan Operasional Sekolah (1) barongan (1) Basketball (1) bca (1) Beasiswa (19) Berita (3) berita duka (1) BHMN (1) Bimbel (1) Biodiversity (1) Bisnis (1) bisnis online (1) Blog (5) bondan winarno (1) BOS (3) Buku (1) Buku Paket (1) Bulan Bahasa (1) Bullying (1) Bursa Kerja (1) Candi Kidal (1) Class Meeting (1) Dee (1) dollar gratis (1) Dumpul (1) dunia maya (1) Ekstrakurikuler (5) Facebook (2) Fair Play (1) Fisika (1) Friendster (1) Futsal (1) gado gado (1) Global Warming (1) Google (1) Gunung Tabor (1) Guru (10) Gus Dur (1) HUT ke-30 (1) IKAPALA (1) imam gozali (1) Inggris (1) Inspirasi (1) Internet (1) IPB (1) Iptek (3) Istana Negara (2) ITB (1) Jabodetabek (1) Jambi (1) Jawa Timur (4) Jepang (1) jerman (3) Jeru (1) Jilu (1) Jombang (1) Jusuf Kalla (1) Kabupaten Malang (4) kampus (1) karir.com (1) Kegiatan (1) Kelas A4 (1) Kelas XII (1) Kemendikbud (3) Kemendiknas (1) Kemneterian Pendidikan dan Kebudayaan (1) Kepala Sekolah (1) Kesehatan (3) KH. Abdurrahman Wahid (1) Kiat Jitu (1) Komik (1) Komunitas (1) kosmetika (1) Kota Batu (1) Kota Malang (5) Kuliah (1) kuliner (1) kusti (2) launching (1) Lingkungan (1) LIPI (1) Lowongan (1) Lulusan 2008 (1) M. Nuh (1) Mahasiswa (2) Mahasiswa Baru (2) Mahkamah Konstitusi (1) maknyus (1) Malang (3) Malang Raya (1) Malangsuko (1) Malaysia (1) Matematika (1) Mendiknas (1) Mendit (1) Menkominfo (1) Menulis (2) Menulis Ilmiah (1) Minat Baca (1) Motto Kelas (1) nDangdut (1) Nostalgia (2) Otonomi Daerah (1) Pahlawan Nasional (1) pak temun (1) Pancasila (1) panggung terbuka (1) Pelajar (1) Pelajaran (1) Pemerintah (1) Pendidikan (11) Pendidikan Nasional (6) Penelitian Ilmiah Remaja (2) Perbankan (1) Perguruan Tinggi (3) Perguruan Tinggi Swasta (2) Permen Karet (1) Pertamina (2) Pilkada (1) PMP (1) PMR (1) Pornografi (1) pramuka (2) Precet (1) Profil (2) PTN (3) PTS (1) Redaksi (1) remaja (2) reuni (5) Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (3) Riset (1) RSBI (4) Rujak Cingur (1) S-1 (1) S1 (1) S2 (1) S3 (1) Sains (1) Sarjana (1) SBI (1) SD (5) Sejarah (3) Sekolah Hijau (1) Sepakbola (2) sepeda (1) Situs (1) SMA (17) SMA Kebon Tebu (1) SMAN 1 Malang (1) sman tumpang (3) SMANETA (10) Smansa (1) SMK (1) SMKN Turen (1) SMP (4) SNMPTN (2) SNMPTN Online (1) soeharto (1) STT Telkom (1) sugeng hadiono (1) Sukoanyar (1) Surabaya (1) Tahun 2013 (1) Tahun Baru (1) Taiwan (1) Tawuran (1) teknologi (3) Tes Online (1) Tips (5) Tomik HS (1) Trik (1) Try Out Online (1) Tulus Ayu (1) Tumpang (2) UAN (2) UASBN (1) UGM (2) UI (1) Ujian (2) Ujian Akhir Nasional (1) Ujian Nasional (5) Ujian Nasional 2010 (1) Ujian Nasional 2011 (1) Ujian Nasional 2012 (1) UM (1) UMB (1) UN (7) UN 2010 (5) UN 2012 (1) Universitas (1) Universitas Brawijaya (1) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (1) Universitas Paramadina (1) UNS Solo (1) Virus (1) wafat (1) Wakil Gubernur (1) website (2) Wendit Water park (1) Wisata (2) wisnuwardhana-narasinghamurti (1) www.smantumpang.com (1)
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!