Karena tidak ada kegiatan lagi, sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta api ke
Begitu masuk warnet berisi 12 komputer tersebut, sekitar 7 kursi sudah terisi. Saat menuju tempat paling ujung – ini tempat favoritku setiap ke warnet ini – aku melewati salah satu komputer yang berisi 3 remaja tanggung. Aku sempatkan menghampiri dan sambil bercanda aku berujar, “Laopo rek, ojok mbukak situs jorok ae!”
Dengan cengingisan mereka menjawab kompak, “Tenang Om, iki lagi nggolek data gawe sekolahan.” Dan, yang membuatku kaget adalah perkataan mereka selanjutnya, “
Aku hanya ketawa, tanpa memberi komentar langsung menuju komputer paling ujung. Sesungguhnya, dalam hati aku cukup prihatin sedih melihat “perkembangan” remaja seperti ini. Dulu, setiap ada kasus penyalahgunaan teknologi (baca: handphone) untuk mengabadikan hal-hal tak senonoh – sengaja ataupun tidak – oleh para remaja, abg (dan anak-anak sekolahan), hanya membatin, “Koq gitu ya pergaulan anak-anak di …….. (kota/daerah tempat anak-anak tersebut)”.
Tapi, kini kejadian itu menimpa anak-anak disekitarku, tetanggaku sendiri, yang aku tau keseharian mereka. Lebih tidak masuk nalar, Pak……… (sensor!) ayah dari gadis itu adalah guruku saat aku bersekolah di …… (sensor!). Sebegitu parahkah moralitas anak-anak jaman sekarang, sehingga dengan mudah dan tanpa malu-malu lagi mengabadikan dirinya tanpa penutup apa-apa di depan kamera?
Mungkin, kita – atau siapapun yang membaca tulisan ini – tidak ambil pusing, karena berfikir toh itu terjadi pada orang lain. Meski, sesungguhnya tanpa kita sadari bisa saja hal tersebut menimpa (dilakukan) orang-orang terdekat kita, apakah itu tetangga, adik, keponakan, kerabat ataupun anak-anak kita sendiri.
Intinya, kalau kita memang punya komitmen untuk “menghambat” laju kebebasan berekspresi (di depan kamera) yang kebablasan tersebut, sudah selayaknya memulai dari lingkungan sendiri, dengan memberikan pemahaman pada orang-orang terdekat betapa tidak terpujinya perbuatan tersebut (meski tujuannya untuk konsumsi sendiri). Ini bukan sekedar masalah teknologi yang disalahgunakan menjadi “jahat”, tetapi lebih pada kesadaran personal dan moralitas.
Setelah hampir satu jam setengah, saat aku mau meninggalkan warnet, aku sempatkan mendatangi sekumpulan remaja tadi, “Koen gak isin ta rek, foto telanjang koncomu tersebar nang endi-endi ngono iku?” Dan, lagi-lagi jawabannya mengejutkan, “Salahe dewe ta
Nah lho.., gimana kalo sudah kayak gini ?
***
Catatan:
- Beberapa petikan kalimat sengaja ditulis apa adanya dengan memakai bahasa daerah (lokal), tanpa diterjemahkan. Tujuannya agar tidak mengurangi esensi dan makna dari kalimat tersebut.
- Tulisan ini tidak punya tendensi apapun pada siapapun, penulis hanya berusaha menyajikan realita yang ada saat ini.