Hari itu udara sangat panas, matahari bersinar terik di atas kota Bandung. Aku sedang menunggu angkot bersama anakku di sekitar jalan GatSu tepatnya di depan BSM. Entah kenapa tiba-tiba mataku tertuju pada sesosok renta yang sedang berteduh di bawah pohon. Badannya kurus, bajunya lusuh. Didekatnya terongggok beberapa kemucing (alat pembersih debu) dan beberapa sapu lidi. Juga ada sebuah botol minuman dari bekas botol air mineral kemasan. Terlihat dari bentuk botolnya yang sudah kusam, botol itu sudah terpakai dan diisi ulang untuk kesekian kalinya. Kulihat dengan nikmatnya dia meneguk air dalam botol itu dan kemudian dia mengipas-ngipas wajahnya dengan topi bambu untuk mengusir hawa panas yang memang cukup menyengat.
Melihat hal itu, muncullah rasa iba-ku yang akhirnya menggelitikku untuk menghampirinya. Kugandeng anak pertamaku yang waktu itu baru berumur 4 tahun menyeberang jalan untuk menghampiri kakek renta itu. Dengan hati-hati kusapa kakek itu agar tidak mengejutkannya. Sambil berbasa-basi, aku mulai menanyakan berapa harga barang dagangannya. Satu buah kemucing kalo tidak salah dia jual 3500 dan sapu lidi dia jual 2000 rupiah. Dalam hati sebenarnya aku tidak ingin membeli barang dagangannya karena memang aku tidak memerlukan kemucing. Tapi aku ingin berbuat sedikit untuk membantu namun dengan cara yang mungkin tidak akan membuat dia tersinggung. Jadi akhirnya aku bilang akan membeli sebuah kemucing. Aku berikan dia selembar uang yang melebihi harga kemucing itu. Seperti sudah kuduga, dia tidak punya kembalian karena dia bilang barang dagangannya belum laku satu pun hari itu.
Sungguh aku tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Dan aku merasakan itu sebuah tamparan yang hebat buat diriku yang seringkali terjebak dengan budaya konsumtif, yang akhirnya membuat diriku kehilangan rasa syukur atas apa yang sudah Allah berikan padaku. Hidup terasa selalu kekurangan yang akhirnya memunculkan sifat tamak, kikir, pelit dan saudara-saudaranya. Bagaimana mau berusaha membantu orang lain lha wong diri sendiri selalu merasa layak dibantu ? Belum lagi kebiasaan untuk mengasihani diri sendiri, merasa nelangsa karena gajinya kok kecil sementara teman sebelah dapat gaji lebih besar padahal pekerjaan kita sama. Dari situ muncul lagi perasaan dengki, iri...bahkan akhirnya bisa menjadikan orang yang suka berburuk sangka.....Astaghfirullahhaladzim...dari hilangnya rasa syukur itu ternyata bisa memicu sifat-sifat jelek yang lainnya.....Dari situlah akhirnya aku mengerti kenapa pak guru ngajiku dulu selalu menginngatkanku untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-NYA....Dan sungguh pak guru-ku yang barusan aku temui di depan BSM itu yang sudah ”menamparku” karena setelah sekian tahun aku menikmati berkah, kasih sayang dan limpahan rezeki dari-NYA tapi aku melupakannya.........
1 comments:
Mbak Rin, ceritanya sangat menyentuh dan buat saya ini satu iktibar yg patut dicontoh.
Sering kali yg terjadi pada kami ketika mazmumah (iri, dengki, tamak, kikir) mulai menjadi raja dalam diri seketika itu juga Allah peringatkan "KONTAN".
Suatu ketika kami dalam perjalanan menuju PS saat itu di jalan sudirman dan kami berbincang bincang masalah promosi di kantor suami, dan biasanya kalo urusan promosi kan sarat muatan politik. Mulailah "bisikan2" meracuni nurani kami. Saat itu juga mobil yg kami tumpangi di serempet motor dan suaranya keras sekali.
Astagfirullah, kami ber2 segera disadarkan dan kami beruntung Allah segera ingatkan mazmumah2 yg merusakkan hati sdg menjadi raja dalam diri.
Saat itu bukan cacatnya mobil yg kami sesali, tapi kami beruntung Allah segera mengingatkan kami denga diserempetnya mobil yg kami tumpangi oleh motor yg melaju kencang.
Trus yg nggak disangka2 benturan yg begitu keras itu tdk melukai mobil kami, subhanallah.
Cantiknya kasih sayang Allah.
Posting Komentar