Sebuah Otokritik Terhadap Majalah Widya Wiyata
Setiap hari Jumat pagi – saat membaca koran Kompas sebelum berangkat kerja – ada perasaan gemas dan geregetan ketika sampai pada sesi 4 halaman rubrik Muda. Sebuah rubrik yang diperuntukkan kaum muda (baca : siswa SMA) untuk berkreasi di bidang jurnalistik. Setiap hari Jumat itu pula, berbagai SMA yang ada di Indonesia silih berganti menampilkan tim-nya untuk menunjukkan bakatnya di bidang jurnalistik, dengan membuat tulisan yang tematis.
Kenapa harus geregetan? Karena menurutku ini hanya masalah “kesempatan” untuk tampil di koran nasional semata. Kesempatan, karena mereka memang mendaftarkan tim-nya terlebih dahulu pada Kompas, untuk diseleksi sebelum tampil. Masalah kemampuan teknis (wawancara, pilihan tema, maupun penulisan) bisa dilakukan oleh siapa saja, dimanapun letak sekolahnya, asal mempunyai niat dan kemauan yang kuat. Tentu saja, salah satu – SMA yang bisa mempunyai kemampuan teknis seperti itu – adalah SMA Negeri 1 Tumpang.
Tetapi, kenyataan yang ada – setidaknya sampai aku datang ke SMA Negeri 1 Tumpang Desember 2007 lalu – kemampuan teknis hampir tak terlihat sama sekali. Terutama di penerbitan Majalah Widya Wiyata edisi Nopember/Desember 2007. Tidak muncul “semangat dan gelora” anak muda dalam mengekspresikan halaman per halaman, juga eksplorasi kemampuan menuangkan kalimat khas remaja sama sekali tidak nampak.
Ini bukan karena pengelola (redaksi) Widya Wiyata tidak punya talenta atau kemampuan jurnalistik yang memadai. Buktinya, dengan personal yang sama, ternyata begitu bebasnya para pengelola ini mengekspresikan kemampuan jurnalistiknya di Majalah Dinding (aku sempat mengamati 2 edisi yang berbeda, dan boleh dibilang nilainya 8+), dan juga di Friendster – sebuah komunitas personal yang lagi trend di internet – yang mereka buat rata-rata mencerminkan dunia mereka yang sebenarnya.
Kenapa mereka (para pengelola Widya Wiyata) tiba-tiba kehilangan sense of journalism dan seperti mati angin ketika harus mengelola sebuah media cetak formal? Jawabannya, dari pembicaraan dengan pengelola dan Pembina – saat diadakan syukuran atas terbitnya kembali Widya Wiyata, Desember 2007 – nyatanya memang ada beberapa hal yang menjadi muara kurang berkembangnya majalah Widya Wiyata.
Pertama, komunikasi yang kurang seimbang antara pengelola dengan Pembina, sehingga Pembina nampak lebih dominan. Mestinya, Pembina bertugas mengawasi, mengarahkan, dan mengeksplor kemampuan siswa, bukan memberi instruksi.
Kedua, ketidakberanian pengelola mengeksplorasi kemampuannya secara penuh, karena khawatir dianggap sok pinter, takut idenya tidak diterima anggota lain, dan tidak didukung oleh pembina.
Ketiga, tidak ada platform yang jelas bagaimana sebuah majalah sekolah harusnya dibuat, akibatnya setiap ganti pengurus pasti akan berubah tampilan. Mestinya, ada panduan baku tentang cover, rubriksasi, jenis tulisan, dan brand dari majalah itu sendiri.
Keempat, pengelola dan pembina terlalu yakin (over convidence) bahwa apa yang dilakukan adalah yang terbaik, padahal dunia jurnalistik selalu berkembang dan dinamis.
Kelima, ini yang paling penting: belajar dan belajar. Tidak sekedar textbook, tetapi belajar melihat perkembangan media cetak lain, belajar melakukan survey media cetak macam apa yang disukai remaja saat ini, dan belajar untuk “meniru” media cetak yang sudah mapan.
Lima hal tersebut tentu bukan sekedar “teori”. Sebab, saat Widya Wiyata – yang dilahirkan Februari 1984 – masih seumur jagung, yaitu sekitar tahun 1985/1986, hal tersebut sudah sepenuhnya dijalankan. Dibawah komando Syamsu Muhajir (Lulusan 1987) Widya Wiyata bisa diterima semua kalangan karena isinya yang meremaja dan sesuai trend remaja saat itu, meski hanya berteknik stensil dan sablon. Dan nampak aneh, kalau 20 tahun berikutnya, ketika teknologi informasi sudah begitu maju, justeru Widya Wiyata seperti diktat atau majalah tahun70-an? Tentu ada mekanisme yang salah!
-----------------
Sugeng Pribadi
Kenapa harus geregetan? Karena menurutku ini hanya masalah “kesempatan” untuk tampil di koran nasional semata. Kesempatan, karena mereka memang mendaftarkan tim-nya terlebih dahulu pada Kompas, untuk diseleksi sebelum tampil. Masalah kemampuan teknis (wawancara, pilihan tema, maupun penulisan) bisa dilakukan oleh siapa saja, dimanapun letak sekolahnya, asal mempunyai niat dan kemauan yang kuat. Tentu saja, salah satu – SMA yang bisa mempunyai kemampuan teknis seperti itu – adalah SMA Negeri 1 Tumpang.
Tetapi, kenyataan yang ada – setidaknya sampai aku datang ke SMA Negeri 1 Tumpang Desember 2007 lalu – kemampuan teknis hampir tak terlihat sama sekali. Terutama di penerbitan Majalah Widya Wiyata edisi Nopember/Desember 2007. Tidak muncul “semangat dan gelora” anak muda dalam mengekspresikan halaman per halaman, juga eksplorasi kemampuan menuangkan kalimat khas remaja sama sekali tidak nampak.
Ini bukan karena pengelola (redaksi) Widya Wiyata tidak punya talenta atau kemampuan jurnalistik yang memadai. Buktinya, dengan personal yang sama, ternyata begitu bebasnya para pengelola ini mengekspresikan kemampuan jurnalistiknya di Majalah Dinding (aku sempat mengamati 2 edisi yang berbeda, dan boleh dibilang nilainya 8+), dan juga di Friendster – sebuah komunitas personal yang lagi trend di internet – yang mereka buat rata-rata mencerminkan dunia mereka yang sebenarnya.
Kenapa mereka (para pengelola Widya Wiyata) tiba-tiba kehilangan sense of journalism dan seperti mati angin ketika harus mengelola sebuah media cetak formal? Jawabannya, dari pembicaraan dengan pengelola dan Pembina – saat diadakan syukuran atas terbitnya kembali Widya Wiyata, Desember 2007 – nyatanya memang ada beberapa hal yang menjadi muara kurang berkembangnya majalah Widya Wiyata.
Pertama, komunikasi yang kurang seimbang antara pengelola dengan Pembina, sehingga Pembina nampak lebih dominan. Mestinya, Pembina bertugas mengawasi, mengarahkan, dan mengeksplor kemampuan siswa, bukan memberi instruksi.
Kedua, ketidakberanian pengelola mengeksplorasi kemampuannya secara penuh, karena khawatir dianggap sok pinter, takut idenya tidak diterima anggota lain, dan tidak didukung oleh pembina.
Ketiga, tidak ada platform yang jelas bagaimana sebuah majalah sekolah harusnya dibuat, akibatnya setiap ganti pengurus pasti akan berubah tampilan. Mestinya, ada panduan baku tentang cover, rubriksasi, jenis tulisan, dan brand dari majalah itu sendiri.
Keempat, pengelola dan pembina terlalu yakin (over convidence) bahwa apa yang dilakukan adalah yang terbaik, padahal dunia jurnalistik selalu berkembang dan dinamis.
Kelima, ini yang paling penting: belajar dan belajar. Tidak sekedar textbook, tetapi belajar melihat perkembangan media cetak lain, belajar melakukan survey media cetak macam apa yang disukai remaja saat ini, dan belajar untuk “meniru” media cetak yang sudah mapan.
Lima hal tersebut tentu bukan sekedar “teori”. Sebab, saat Widya Wiyata – yang dilahirkan Februari 1984 – masih seumur jagung, yaitu sekitar tahun 1985/1986, hal tersebut sudah sepenuhnya dijalankan. Dibawah komando Syamsu Muhajir (Lulusan 1987) Widya Wiyata bisa diterima semua kalangan karena isinya yang meremaja dan sesuai trend remaja saat itu, meski hanya berteknik stensil dan sablon. Dan nampak aneh, kalau 20 tahun berikutnya, ketika teknologi informasi sudah begitu maju, justeru Widya Wiyata seperti diktat atau majalah tahun70-an? Tentu ada mekanisme yang salah!
-----------------
Sugeng Pribadi
***Pengalaman Jurnalistik : Pemimpin Redaksi Majalah Widya Wiyata, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah dan Koran Kampus, Reporter sebuah Tabloid Mingguan, Juri berbagai Lomba Majalah Cetak dan Majalah Dinding Sekolah, semuanya tahun 1987 s/d 1996.